Wednesday, September 22, 2010

Ibu, dengarkanlan ratapanku..

Dalam sejarah kepemilikan handphone, saya sama sekali belum pernah membelinya dengan uang sendiri. Dan  saya jarang pula berniat untuk gonta ganti handphone. Kalaupun berganti, baik itu karena hilang ataupun tanpa alasan, orang terdekat saya selalu berbaik hati membelikannya. Saya sama sekali tidak bangga, tapi sekaligus juga tidak merasa berkecil hati walaupun punya prinsip memberi lebih baik daripada menerima. Saya anggap saja itu adalah sebuah peruntungan yang baik.


Handphone pertama saya adalah pemberian dari ibu saya tercinta. Handphone merk Siemens yang sama sekali tidak keren untuk ukuran zaman sekarang. Tapi kemudian ibu saya mungkin kasihan melihat saya terus-terusan dengan handphone monochrome itu. Beliau lalu menukarkannya dengan yang lebih canggih walaupun second. Terus seperti itu beberapa kali. Sampai akhirnya saya menikah, giliran pasangan saya lah yang kasihan melihat saya atau mungkin kasihan melihat handphone saya yang sering tanpa sengaja terjatuh dan akhirnya lecet disana sini. Bahkan seorang rekan kantor pernah membelikan saya sebuah casing handphone demi melihat peremajaan dari handphone saya yang sudah tidak karuan penampilannya. Pelajaran yang saya ambil saat itu, jika casing handphone bisa dilepas, gantilah casing original dengan casing kw selama pemakaian agar nilai jual handphone  tidak jatuh hanya karena casingnya tidak mulus.

4 tahun terakhir ini saya ditemani 1 handphone yang sangat setia. Dengan penampilan yang “ga banget”, performa kerjanya sungguh tidak mengecewakan. Memar di badan dan balutan cellotape di sekeliling tutup baterainya tidak menghalanginya untuk memberikan pelayanan yang prima pada saya. Pemakaian yang gila-gilaan sehubungan dengan tarif murah CDMA dan tersedianya fitur radio sama sekali tidak membuat baterainya nge-drop. Bisa dikatakan saya cukup bangga dengan kesetiaannya menemani saya selama ini.

Tapi kemudian, di tahun ini, di bulan lalu, di saat yang tidak terduga, handphone kesayangan saya ini terlepas begitu saja dari genggaman saya. Walhasil, handphone saya jatuh dan terpelanting ke lantai. Tulangnya patah dan ia mati seketika. Saya cuma bisa menahan napas melihatnya tak bernyawa. Akhirnya handphone saya tidak kuat juga menahan derita yang sudah berkepanjangan. Inilah bangkainya yang sampai sekarang masih saya simpan. Selain saya adalah tipe orang yang menghargai kenangan, juga karena handphone ini ternyata masih bisa di-charge dan bisa dipakai menelepon walau tanpa display dan suara karena layarnya terpisah dari badan.


Sangat disayangkan hampir semua data phonebook tersimpan di memori handphone. Banyak nomor  telepon teman dan kerabat yang saya tidak ingat. Tapi saya keberatan untuk memperbaikinya karena biayanya hampir sama dengan harga beli second-nya. Mungkin ini adalah saatnya mengeluarkan uang dari kantong sendiri untuk membeli sebuah handphone baru. Ah bukan bukan..ini saatnya ibu saya membelikan yang baru..
*peace, mam*

2 comments:

kopiholic said...

kasihan kamu nak...
henpon jelek
ibu yang nggak mau beliin hp baru
untungnya kamu punya temen sekeren saya, gak ada lagi yang bisa menyelamatkanmu...

mentegaterbang said...

temen paling ga keren dan menyesatkan..